Oleh : Ghufron Su’udi
Meskipun persoalan nikah siri
untuk sementara waktu ini tidak mengemuka seperti beberapa waktu yang lalu, ini
bukan berarti tidak ada persoalan yang berkaitan dengan pernikahan siri dalam
masyarakat. Kontroversi nikah siri tampaknya belum berakhir. Persoalan tidak hanya
sekedar memperdebatkan layak tidaknya
mempidanakan pelaku dan siapapun yang terlibat pernikahan siri, tetapi juga
sudah masuk dalam wilayah hak mendasar umat manusia. Baik yang pro maupun
kontra, masing-masing memiliki argumen yang hampir semuanya mereka susun hanya
berdasar pengamatan dan asumsi-asumsi pribadi, sehingga sering bersifat
normatif dan tidak menyentuh dengan fakta di lapangan.
Sekedar tambahan untuk bahan perdebatan,
berikut akan dikemukakan beberapa akibat dari pernikahan siri yang luput dari
pengamatan masyarakat dan para pengamat. Sengaja hal ini penulis sampaikan agar
para pihak baik yang pro maupun kontra dapat sedikit mempersempit jurang
perbedaan, sehingga diharapkan dari berbagai diskusi itu menghasilkan satu
masukan yang bermanfaat bagi pemerintah.
Beberapa akibat pernikahan siri sebetulnya
sudah banyak disampaikan oleh beberapa pengamat, tetapi dalam tulisan ini
adalah kasus yang penulis temukan di lapangan dalam menjalankan tugas sebagai
seorang penghulu. Diantaranya :
Pertama, perbedaan persepsi tentang
siapa yang berhak menjadi wali nikah antara petugas Kantor Urusan Agama (KUA)
dan keluarga calon pengantin. Ini adalah kasus yang paling sering muncul di
KUA.
Ketika
calon pengantin mendaftarkan diri ke KUA, satu diantara sekian kewajiban
petugas KUA adalah memeriksa dan menentukan siapa yang berhak menjadi wali
nikah. Disamping dokumen dari kelurahan, untuk penentuan wali nikah juga
didasarkan kepada akta kelahiran yang bersangkutan. Kalau dari bukti-bukti
otentik ini petugas menemukan bahwa calon pengantin perempuan dilahirkan hanya
dari seorang ibu, maka ditentukan wali nikahnya adalah wali hakim.
Dalam
kasus ini banyak keluarga calon pengantin yang dengan ikhlas menerima ketentuan
tersebut, tetapi ada juga pihak khususnya ayah dari pengantin perempuan yang
tidak menerimanya. Ia akan bersikukuh bahwa yang berhak menjadi wali nikah
adalah dirinya dan tidak terima kalau wali nikahnya wali hakim. Alasannya,
meskipun dalam akta kelahiran sang anak terlahir hanya dari seorang ibu, tetapi
pada kenyataannya dialah ayah kandungnya yang sah, karena anak itu terlahir
dari pernikahan orang tuanya yang sah meskipun hanya siri.
Di sinilah letak persoalannya, ketika
seseorang atas dasar hukum agama (fikih) yakin bahwa pernikahan sirinya adalah
sah, maka tentu saja iapun berhak menjadi wali bagi anak-anak yang dilahirkan.
Tetapi bagi petugas KUA, atas dasar tuntutan hukum agama dan negara akan
berhati-hati menerima alasan semacam itu. Pengakuan sudah melakukan pernikahan
siri sangat sulit dibuktikan, sehingga akan tetap berpegang kepada bukti
otentik yaitu akta kelahiran.
Kedua menimbulkan kesulitan
administrasi kependudukan dalam hal status perkawinan seseorang. Sering terjadi
petugas kelurahan atau kecamatan kesulitan mencantumkan status perkawinan
seseorang yang akan mengurus dokumen resmi, terutama surat-surat untuk
keperluan menikah di KUA.
Seseorang yang sudah melakukan pernikahan
siri, terlebih sudah mendapatkan keturunan, baik karena tuntutan administrasi
maupun sosial kemasyarakatan, dalam kartu keluarganya (C1) senantiasa
menuliskan status “menikah”. Meskipun idealnya hal itu tidak bisa dilakukan
karena tidak adanya akta perkawinan, tetapi fakta di lapangan banyak pasangan
nikah siri yang status perkawinannya baik dalam kartu keluarga maupun KTP
tertulis sudah menikah.
Ketika
salah satu atau kedua pasangan nikah siri ini akan mengurus pernikahan resmi,
baik dengan pasangannya itu sendiri atau orang lain, salah satu dokumen penting
yang harus dilengkapi adalah tentang status perkawinan. Kesulitan yang
dihadapi, kalau statusnya tertulis menikah, maka permohonan nikahnya oleh
petugas KUA akan dikategorikan
pernikahan poligami, dan itu tidak mungkin dilaksanakan karena terbentur
ijin pengadilan. Demikian juga kalau status perkawinannya tertulis duda atau
janda, KUA pun tetap meminta bukti akta cerai atau kematiannya. Gagalnya nikah
masal di Masjid Kemayoran Jakarta Pusat pada tanggal 26 Februari 2010 adalah
sebagai buktinya. Maka jalan satu-satunya adalah mengembalikan status asalnya,
yaitu jejaka atau perawan. Hanya saja, bersediakah pihak kelurahan atau
kecamatan mencamtumkan status tersebut, sebab seluruh data yang ada semuanya
tertulis menikah.
Ketiga, terjadi ketidak
konsistenan hukum yang dapat menyebabkan praktek poliandri terselubung. Satu
hal yang harus dicatat, bahwa penyebab munculnya istilah nikah siri dan segala
persoalannya adalah adanya dualisme hukum di bidang perkawinan. Sebagai umat
Islam, segala aktifitas ibadah dab muamalah (sosial kemasyarakatan) termasuk di
dalamnya masalah perkawinan dan perceraian sudah diatur sedemikian rupa dalam
fikih. Demikian juga sebagai warga negara Indonesia, umat Islam harus tunduk
dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Seseorang yang yang pernikahannya tidak
dicatatkan di KUA (siri), manakala terjadi perceraianpun tidak melalui lembaga
peradilan, tetapi mengikuti ketentuan sebagainana tertuang dalam kitab-kitab
fikih. Artinya tanpa adanya proses persidangan dan bukti otentik telah terjadi
perceraian. Seorang wanita yang sudah menikah siri, pada saat kehidupan
keluarganya mulai tidak harmonis, tidak diberi nafkah dan bahkan ditinggal
suaminya, banyak yang beranggapan bahwa kondisi seperti itu hubungan
perkawinannya sudah putus, artinya statusnya bukan lagi bersuami dan berhak
untuk menikah dengan siapapun.
Kalau kemudian wanita tersebut menikah lagi
dengan pria lain, sementara suami pertamanya belum menjatuhkan talak atau ia
sendiri belum melakukan upaya hukum untuk lepas dari ikatan perkawinannya, maka
ia sudah melanggar ketentuan hukum Islam. Meskipun menurut hukum positif
tindakan seperti itu bisa saja dilakukan, tetapi dari kaca mata hukum Islam
wanita tersebut sudah melanggar ketentuan syariat dan dianggap meakukan suatu
perbuatan dosa. Sebab selama suami pertamanya belum menjatuhkan talak, dalam
mondisi dan sampai kapanpun ia masih berstatus sebagai seorang istri. Dengan
demikian perkawinannya yang kedua tidak hanya melanggar laranga Rasulullah,
yaitu menerima khitbah lelaki lain tetapi juga sudah melakukan
poliandri.
Keempat manipulasi dan pengebirian
hukum. Sebagaimana fatwa MUI tahun 1995 dan kenyataan di lapangan, bahwa banyak
pasangan nikah siri yang dikemudian hari ingin mencatatkan perkawinannya di
KUA. Bahkan Menteri Agamapun
setelah kontroversi nikah siri mencuat memberikan solusi untuk mencatatkan
perkawinan siri ke KUA tanpa ijab kabul baru. Tetapi satu hal yang harus
diketahui, bahwa KUA tidak dapat mencatat perkawinan siri sebelum ada itsbat
(penetapan) dari Pengadilan Agama. Artinya, pasangan nikah siri yang akan
mencatatkan perkawinannya di KUA terlebih dahulu harus mengajukan permohonan
itsbat nikah ke Pengadilan Agama. Dalam itsbat nikah inilah sesungguhnya
terjadi rekayasa hukum yang dilegalkan.
Dari fakta yang ada, seseorang melakukan
nikah siri disebabkan beberapa faktor, diantaranya adalah kesulitan
administrasi pada saat mendaftar di KUA. Seperti seorang yang sudah beristri,
kemudian ingin menikahi wanita lain, maka ketika kesulitan mengajukan ijin
poligami akan memilih nikah siri sebagai solusinya. Juga pasangan di bawah
umur, karena ada suatu sebab mengharuskan mereka untuk segera dinikahkan,
tetapi tidak mau repot mengajukan dispensasi ke Pengadilan Agama, maka nikah
siri dianggap jalan terbaik.
Dari kedua contoh kasus di atas, kalau
dikemudian hari pernikahan sirinya dimintakan itsbat nikah dan pengadilan
mengabulkan permohonan tersebut, maka menurut penulis hukum benar-benar
dilecehkan dan dibuat tidak berdaya. Undang-Undang Perkawinan yang di dalamnya
jelas memuat aturan poligami dan ketentuan usia perkawinan dipaksa harus tunduk
kepada rekayasa hukum melalui pernikahan siri.
Itulah beberapa hal yang penulis temukan dalam
menjalankan profesi sebagai seorang penghulu. Fakta di atas adalah riil dan
bukan asumsi-asumsi pribadi, sehingga diharapkan dari fakta-fakta tersebut
pemerintah dapat lebih bijak dalam menyusun Rancangan Undang Undang Hukum
Terapan Peradilan Agama, khususnya dalam hal perlu tidaknya pemberian sangsi
terhadap pelaku nikah siri. Dan seandainya perlu, apakah harus dipidanakan
ataukah diberikan sangsi dalam bentuk lain.
* Ghufron Su’udi, S.Ag adalah Kepala KUA Kec. Pakualaman Kota Yogyakarta
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusPak saya mau tanya, saya sudah memiliki anak namun belum memiliki akta kelahiran disebabkan stattus perkawinan saya masih belum kawin, sedangkan suami saya sudah tidak menafkahi lahir maupun batin dan pergi begitu saja, bisakah saya merubah stattus perkawinan saya untuk membuat akta anak saya meskipun hanya menikah siri
BalasHapus