Oleh
: Ghufron Su’udi
I. LATAR
BELAKANG
Dalam
organisasi keluarga, laki-laki adalah kepala dan pengawas secara ke seluruhan.
Anggota tertua dalamkeluarga, menduduki tempat kepala. Tanggung jawab
kehidupan keluarga terletak di tangan laki-laki, menjaminnya secara materi dan
ekonomi, memelihara hubungarp keluarga dengan masyarakat lainnya baik
secara ekonomi rnaupun kebijaksanaan, serta menjaga disiplin di dalam keluarga. Adalah adil jika wanita itu tunduk dan patuh karena sadar bahwa Allah telah memberikan kepadanya seorang pelindung.
secara ekonomi rnaupun kebijaksanaan, serta menjaga disiplin di dalam keluarga. Adalah adil jika wanita itu tunduk dan patuh karena sadar bahwa Allah telah memberikan kepadanya seorang pelindung.
Tetapi
karena alasan-alasan itu, akhirnya berkembang di kalangan ahli fikih satu
pandangan bahwa perceraian itu merupakan hak eksklusif kaum pria. Dengan
menonjolkan kelebihan-kelebihan yang dimiliki kauin pria serta memanfaatkan
kelemahan-kelemahan kaum wanita dalam hal-hal tertentu, para ahli figih
mengambil satu kesimpulan bahwa Islam menjadikan hak perceraian hanya ditangan
kaum pria saja.
II. POKOK MASALAH
Terlepas
dari benar atau tidaknya, ternyata para ahli fikih telah menjadikan perbedaan
sifat alamiah manusia serta perbedaan peran antara suami dan isteri sebagai
alasan diberikannya hak perceraian kepada suami.
Sebagai
agama yang menekankan keadilan, dalam hal perceraian sebenarnya Islam bermaksud
memberikan status yang setara antara laki-laki dan perempuan. Sebagainiana
yang telah kita lihat bahwa AI Qur'an menuntut diadakannya perundingan sebelum
perceraian terjadi, seperti firman Allah dalam surat An Nisa' ayat 35 dan 128.
Disamping
itu, penetapan laki-laki lebih tinggi derajatnyadari wanita (2:228) hanyalah
menunjukkan bahwa laki-laki itu adalah pernimpin rumah tangga, bukan
menunjukkan bahwa laki-laki lebih berkuasa dari pada wanita. Atas dasar itulah,
timbul pertanyaan bagi penulis, benarkah hak talak hanya di tangan suami ?
III.
PEMBAHASAN
Sebagian
ahli fiqih dalam memberikan definisi perkawinan cenderung hanya menonjolkan
aspek lahiriah yang bersifat normatif dari hakekat perkawinan, sehingga timbul
kesan seolah-olah akibat dari sahnya perkawinan hanya terbatas pada timbulnya
ke bolehan atas sesuatu yang sebelumnya dilarang, yakni berhubungan badan antara
seorang laki-laki dan perempuan.
Pemahaman
di atas muncul akibat dari pengertian "nikah"yang mereka definisikan.
Para ahli fikih pengikut mazhab yang empat biasanya mendefinisikan"nikah"
sebagai akad antara seorang laki-laki dan perempuan yang menjadikan bolehnya
berhubungan badan diantaranya.
Hal ini didasarkan atas tuntunan
moral Islam yang menghendaki agar manusia , menjaga diri dari perbuatan-perbuatan
yang dilarang Allah. Dalam hal ini adalah perbuatan zina. Maka untuk menjaga keselmatan moral manusia, satu-satunya cara
untuk menjadikan yang haram menjadi halal adalah dengan melaksana pernikahan,
dan dari sinilah aspek normatif dari sebuah perkawinan menjadi paling menonjol.
Tetapi
apabila pemahaman tentang perkawinan lebih diperdalam lagi, maka sesungguhnya
gambaran diatas tidak sepenuhnya menunjukkan hakekat perkawinan secara utuh. Apa yang dikemukakan tadi tidak
lain hanyalah salah satu tujuan saja dari perkawinan. Dalam pelbagai ayat
Al’Ouran sering disinggung mengenai ikatan wanita dan pria. Ayat-ayat tersebut
diantaranya ada yang menjelaskan tentang hubungan antara keduanya serta
hak-hak dan kewajiban masing-ma,ing. Hal ini secara garis besar dapat dipahami
dari firman Allah dalam surat
Al Baqarah ayat 228.
Atas
dasar ayat di atas, Islam mengukuhkan hubungan antara pasangan sumai istri
atas dasar keseimbangan, keharmonisan dan keadilan. Wanita mempunyai hak yang wajib
dipikul suaminya, sebagai perimbangan bagi hak suami yang wajib dipikul oleh
isterinya menurut aturan-aturan agama.
Da1am pemahaman dan penghayatan
seperti itulah kemudian Abu Zahrah menyusun definisi nikah atau perkawinan
sebagai satu akad yang menjadikan halnya hubungan badan antara seorang
laki-laki dan perempuan, tolong menolong antara keduanya dan menyatunya hak-hak
serta kewajiban kedua-nya.
Hampir
sama dengan definisi tersebut adalah definisi nikah yang dikemukakan oleh Dr
Muhamad Yusuf Musa, menurutnya nikah adalah akad yang menghalalkan bagi setiap
pasangan utuk bersenang-senang dengan pasangannya atas dasar ketentuan yang
digariskan syariat serta menjadikan bagi keduanya hak dan kewajiban atas yang
lainnya.
Dengan
demikian, disamping Islam menerima lembaga perkawinan itu agar setiap orang
memperoleh kepuasan perasaan dan seksual serta, sebagai perlindungan moral, juga
diharapkan dari perkawinan, akan timbul jalinan hak serta kewajibankewajiban
yang diletakkan sebagai dasar kehidupan keluarga, dengan tujuan untuk memperoleh
pola sikap dan tindakan yang hendak diwujudkan Islam bagi individu dan
masyarakat. Keseimbangan peran, persamaan hak dan ke wajiban yang baru telah
ditetapkan dalam hubungan antara suami isteri, antara orangtua dan anak-anaknya
dan dengan pihak-pihak di luar Iingkungan keluarga. '
Untuk itu setelah berlangsung akad
nikah, maka oleh Islam antara suami dan isteri diikat ketentuan-ketentuan agama
yang berhubungan dengaa kehidupan suami isteri. Agama menetapka bahwa suami
mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu yang menjadi hak isteri, demikian isteri
mempunyai kewajiban-kewajiban yang menjadi hak suami. Tetapi meskipun, oleh Al
Quran suami diberi derajat setingkat lebih tinggi dari isterinya (Al Baqarah
ayat 228).
Masalah
perbedaan derajat, oleh para para mufassir ditafsirkan dengan mengkaitkannya
dengan ayat-ayat yang lain,yaitu kaum pria berfungsi sebagai pelindung kaum
wanita serta penyelenggara seluruh urusan keluarganya. Allah menentukan
demikian karena kaum pria harus lebih banyak memeras daya upayanya.
Dalam
organisasi keluarga, laki-laki adalah kepala dan pengawas secara ke seluruhan.
Anggota tertua dalam keluarga, menduduki tempat kepala. Tanggung jawab
kehidupan keluarga terletak di tangan laki-laki, menjaminnya secara materi dan
ekonomi, memelihara hubungarp keluarga dengan masyarakat lainnya baik secara
ekonomi rnaupun kebijaksanaan, serta menjaga disiplin di dalam keluarga.
Adalah adil jika wanita itu tunduk dan patuh karena sadar bahwa Allah telah
memberikan kepadanya seorang pelindung.
Tetapi
karena alasan-alasan itu, akhirnya berkembang di kalangan ahli fikih satu
pandangan bahwa perceraian itu merupakan hak eksklusif kaum pria. Dengan menonjolkan
kelebihan-kelebihan yang dimiliki kauin pria serta memanfaatkan
kelemahan-kelemahan kaum wanita dalam hal-hal tertentu, para ahli figih
mengambil satu kesimpulan bahwa Islam menjadikan hak perceraian hanya ditangan
kaum pria saja.
Mereka
beragumen, bahwa kaum pria lebih bersungguh-sungguh untuk melanggengkan ikatan
perkawinan, karena untuk yang satu ini ia banyak menghabiskan biaya, sehingga
apabila ia bercerai dan ingin kawin lagi tentu membutuhkan biaya yang lebih
besar. Disamping itu ia juga dibebani untuk membayar sisa mahar kepada
isterinya yang dicerai, memberikan mut'ah (hadiah) talak dan memberikan nafkah
selama masa ‘iddah Karena
kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya itulah Islam menjadikan hak
bercerai kepada laki-laki.
Alasan lain yang dikemukakan para ahli
fikih adalah dari segi penalaran dan tabiatnya. Kaum pria itu lebih sabar
menghadapi segala tekanan dari pada kaum perempuan dan ia tidak tergesa-gesa
untuk bercerai karena rasa marah. Sedangkan kaum perempuan biasanya lebih cepat
marah dan kurang pertimbangan. Hal ini menurut mereka disebabkan oleh tidak
adanya beban yanhg ditanggung leh pihak perempuan setelah cerai sebagaimana
yang diwajibkan kepada laki-laki,sehingga wajar apabila ia mudah berpikir untuk
melepas ikatan perkawinan apabia terjadi hal-hal meskipun sifatnya sepele.
Hal
lain yang memberikan wewenang kepada suami untuk menceraikan isterinva ialah
bahwa laki-laki itu dalani menimbang suatu masalah yang dihadapinya lebih
banyak menggunakan pikiran dibanding dengan perasaannya, sedang kaum wanita
sebaliknya. ia lebih banvak menggunakan perasaan dibanding dengan pikirannya.
Terlepas
dari benar atau tidaknya, ternyata para ahli fikih telah menjadikan perbedaan
sifat alamiah manusia serta perbedaan peran antara suami dan isteri sebagai
alasan diberikannya hak perceraian kepada suami.
Sebagai
agama yang menekankan keadilan, dalam hal perceraian sebenarnya Islam bermaksud
memberikan status yang setara antara laki-laki dan perempuan. Sebagaimana yang
telah kita lihat bahwa AI Qur'an menuntut diadakannya perundingan sebelum
perceraian terjadi, seperti firman Allah dalam surat An Nisa' ayat 35 dan 128.
Disamping
itu, penetapan laki-laki lebih tinggi derajatnya dari wanita (2:228) hanyalah
menunjukkan bahwa laki-laki itu adalah pernimpin rumah tangga, bukan
menunjukkan bahwa laki-laki lebih berkuasa dari pada wanita.
Jadi
ketika Al Qur'an memberikan kelebihan tertentu bagi laki-laki atas pe rempuan,
Al Qur'an menjelaslkan bahwa hal ini bukan karena kelemahan yang ada pada diri
perempuan, tetapi karena konteks sosialnya, dalam hal ini adalah peran yang
dimiliki oleh masing-masing pihak. Sedang perbedaan peran tidak mengandung
arti ada yang lebih dari yang lain. Sebagai contoh. apakah seorang dokter Iebih
atas dibanding, arsitek, atau seorang penyanyi lebih atas dibanding seorang
guru. Jadi peran itu bukan berarti rnenunjukkan yang satu memiliki kelebihan
yang lain, tetapi peranserta yang satu menjadi pelengkap bagi yang lain dalam
setiap pekerjaan.
Dengan
demikian, jelas bahwa keunggulan yang diberikan Allah kepada laki-laki adalah keunggulan
fungsi sosialnva. Laki-laki mencari nafkah dan membelanjakannya untuk
perempuan, maka ia memperoleh keunggulan fungsional atas perempuan.
Tetapi
sekarang, ketika kaum perempuan mulai memproklamirkan bahwa pekerjaan rumah
tangga perempuan juga harus diperhitungkan sebagai pekerjaan produktif secara
ekonomi dan tidak dapat begitu saja dianggap sebagai kewajiban rumah tangga
mereka, maka alasan-alasan yang bersifat ekonomi yang dikemukakan di atas
menjadi kurang tepat. Sebab dengan adanva fungsi yang berbeda, maka
mengakibatkan tanggung jawab yang berbeda, yaitu sesuai dengan peran
masing-masing.
Tugas
perempuan sebenarnya juga membawakan peran dalam soal ekonomi sama dengan
laki-laki. Dengan demikian malah dapat dikatakan bahwa tidak ada keunggulan
fungsional antara laki-laki dan perempuan, tetapi yang ada adalah perbedaan
fungsi dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan.
Kemudian
tentang kelemahan-kelemahan perempuan yang juga menjadi alasan diberikannya
hak bercerai kepada laki-laki sebagaimana diantur beberapa spekulatif dan
bersifat relatif, sebab penulis beralasan bahwa apabila di lihat dalam masalah
pemeliharaan anak, mayoritas ulama fikih berpendapat bah wa ibu lebih berhak
atas anaknya, dengan alasan ibu lebih dekat dengan anak dan mencintainya lebih
mendalam dari pada siapapun, dan juga ini adalah masalah kesejahteraan anak
dan bukan hanya salah satu hak orang tuanya saja.
Dengan
dasar ini dapat dibuktikan bahwa apa yang dituduhkan kepada perempuan itu
tidak benar, sebab apabila dikatakan perempuan itu emosinya selalu tidak
stabil, maka tidak mungkin masalah pemeliharaan anak diserahkan ke pada ibunya.
Sebab dalam mengasuh dan mendidik anak dibutuhkan kesabaran dan rasa tanggung
jawab yang tinggi, dan dengan diserahkannya hak mengasuh anak kepada fihak
perempuan berarti diakui adanva sifat-sifat tersebut pada diri perempuan.
Jadi
dalam Islam, perkawinan itu digarnbarkan sebagai persekutuan antara dua pihak
dengan penuh kedamaian dan kasih sayan. Masing-masing mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya. Sebagaimana laki-laki memiliki hak atas
perempuan, perempuan memiliki hak atas laki-1aki. Demikian juga perempuan memiliki
kewajiban terhadap laki-laki, laki-laki juga memilikin kewajiban
terhadapwanita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar