Oleh
: Ghufron Su’udi
Temuan enzim babi
dalam vaksin meningitis (radang
selaput otak) oleh LPPOM MUI Sumsel menimbulkan keresahan umat Islam, khususnya
bagi calon jamaah haji. Terlebih setelah MUI mengeluarkan fatwa tentang
keharaman vaksin meningitis ini. Sebab vaksin inilah yang biasa
digunakan oleh jamaah haji dan umrah asal Indonesia. Meskipun adanya
kandungan enzim babi dalam vaksin meningitis ini sempat dibantah oleh Menteri Kesehatan, namun pada akhirnya
diakui juga dan menyerahkan sepenuhnya tentang hukumnya kepada MUI.
Satu hal yang menarik dalam kasus ini adalah
alasan mengapa pihak-pihak yang berkompeten seolah-olah menutupi masalah yang
sesungguhnya sangat sensitif ini. Bagi umat Islam, keharaman babi sudah sangat
jelas, tetapi ini justru dimanfaatkan untuk keperluan ibadah yang segala
unsurnya dituntut tidak hanya harus dalam
kondisi bersih dan suci tetapi juga halal. Bahkan menurut ketua MUI Sumsel, KH Sodikun, beliau telah berkali-kali mengingatkan tentang vaksin meningitis berenzim babi ini, namun pemerintah tidak juga merespon. Tidak adanya respon dari pemerintah ini menurut penjelasan majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara’ Departemen Kesehatan didasarkan alasan darurat. Dengan alasan darurat inilah pemerintah memutuskan mengubah hukum enzim babi ini dari haram menjadi makruh.
kondisi bersih dan suci tetapi juga halal. Bahkan menurut ketua MUI Sumsel, KH Sodikun, beliau telah berkali-kali mengingatkan tentang vaksin meningitis berenzim babi ini, namun pemerintah tidak juga merespon. Tidak adanya respon dari pemerintah ini menurut penjelasan majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara’ Departemen Kesehatan didasarkan alasan darurat. Dengan alasan darurat inilah pemerintah memutuskan mengubah hukum enzim babi ini dari haram menjadi makruh.
PRINSIP
DARURAT
Dalam
kitab Al Idhthirar Ilal Ath’imah Wal
Adwiyah Al Muharramaat karangan Dr Abdullah Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ath
Thariqi dapat ditemukan berbagai pengertian darurat yang didefinisikan oleh
para ahli hukum Islam. Diantaranya adalah sebagaimana yang terdapat dalam
catatan pinggir kitab “ Al Asybah Wannadzaair “ karangan Ibnu Najm.
Darurat disini diartikan sebagai suatu keadaan atau posisi seseorang pada suatu
batas dimana kalau tidak mau melanggar sesuatu yang dilarang maka ia bisa mati
atau nyaris mati. Posisi seperti ini memperbolehkan seseorang melanggar sesuatu
yang di haramkan. Sedang menurut Abu Bakar Al- Jashshash dalam kitabnya Ahkamul Qur’an mengartikan darurat
sebagai ketakutan seseorang pada bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota
badannya apabila ia tidak makan (sesuatu yang haram). Sebagian ulama
mendefinisikan darurat sebagai suatu keadaan yang memaksa untuk melanggar
sesuatu yang dilarang oleh agama.
Dari
beberapa definisi di atas dapat diambil satu pemahaman bahwa seseorang dianggap
dalam kondisi darurat apabila benar–benar sudah terancam keselamatan nyawa,
anggota badan, kehormatan, akal atau harta bendanya. Dalam kajian ilmu hukum
Islam (fiqih), persoalan hukum
darurat dibahas lebih dalam lagi oleh para ulama. Hal itu berkaitan dengan
begitu kompleksnya konsep darurat tersebut, diantaranya meliputi unsur–unsur
dan batasan darurat. Sebab Al Qur’an yang dijadikan rujukan dan sumber hukum
masih sangat global dalam menuturkan masalah darurat tersebut. Paling tidak ada
4 (empat) ayat yang dijadikan dasar penetapan hukum daruat, yaitu, (a) Al
Baqarah ayat 173 (b) Al Maidah ayat 3 (c) Al An’aam
ayat 145 dan (d) An Nahl ayat 115.
Dari
beberapa ayat di atas, meskipun seseorang dalam keadaan darurat, Allah masih
memberikan dua batasan yang tidak boleh dilanggar yaitu sebagaimana dalam
firmanNya “Sedang dia tidak
menginginkannya “ dan “ tidak
melampaui batas “. Dua batasan inilah yang kemudian menimbulkan beragam penafsiran
dan berbagai kaidah masalah darurat serta hukumnya. Terdapat dua kaidah penting
yang dicetuskan oleh para ulama fikih yaitu kaidah, ”Darurat Itu Memperbolehkan Hal–Hal yang Dilarang “ dan kaidah, “Madharat Itu Harus Dihilangkan “.
Hampir
semua penafsiran ayat darurat dalam Al Qur’an lebih cenderung hanya menyangkut
darurat akan kebutuhan makan saja. Hal itu disebabkan karena ayat–ayat yang
menjelaskan masalah darurat hampir semuanya diawali dengan membicarakan masalah
makanan, yaitu tentang larangan (keharaman) beberapa jenis makanan. Seperti
dalam surat Al
Baqarah ayat 173 :”Sesungguhnya Allah
hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan bintang (yang ketika disembelih) disebut (nama)
selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia
tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada
dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang“. As
Sadi mengartikan firman Allah “sedang dia
tidak menginginkannya” dengan tafsir seseorang memakan hal–hal yang
diharamkan tersebut semata–mata karena memang terpaksa. Bukan malah dengan
menikmati atau merasakan enaknya. Kalau memakannya dengan merasakan suatu
kenikmatan, berarti seseorang itu menginginkannya. Adapun arti firman Allah “dan tidak melampaui batas” ialah
memakannya hingga melampaui batas kenyang.
Penafsiran
lain disampaikan Mujahid Ibnu Jubair dan beberapa ulama lainnya, bahwa arti “ tidak menginginkannya dan tidak melampaui
batas“ adalah keinginan dan tindakan yang melampaui batas serta merugikan
kaum muslimin, seperti tindakan kejahatan, pemberontakan yang tidak mempunyai
alasan yang dibenarkan agama, penyerangan terhadap umat Islam dan tindakan
kriminal lainnya. Sedang menurut Al Qurthubi, Allah memperbolehkan seseorang
memakan semua yang diharamkan dalam keadaan darurat, karena ia tidak sanggup
mendapatkan semua yang diperbolehkan. Jadi tidak adanya sesuatu yang
diperbolehkan itulah yang menjadi syarat diperkenankannya sesuatu yang
diharamkan.
Dari
berbagai ragam penafsiran itulah akhirnya para ulama berbeda pendapat dalam menentukan
batas–batas darurat, baik dari situasi atau kondisi seperti apa seseorang itu
sudah dinggap dalam keadaan darurat serta ukuran (batas) sesuatu yang boleh dikonsumsi oleh
orang yang berada dalam kondisi darurat tersebut. Menurut para ulama dari
madzhab Hanafi makna darurat yang menyangkut rasa lapar ialah seandainya
seseorang tidak mau mengkonsumsi barang yang diharamkan di khawatirkan ia bisa
meninggal dunia atau setidaknya ada anggota tubuhnya yang akan menjadi cacat.
Seseorang yang dipaksa akan dibunuh atau akan dipotong salah satu anggota
tubuhnya apabila ia tidak mau memakan atau meminum sesuatu yang diharamkan, itu
berarti ia sedang dalam keadaan darurat yang memperbolehkan ia memakan sesuatu
yang haram, karena ia mengkhawatirkan nyawanya atau salah satu anggota
tubuhnya. Jadi disini keterpaksaan atau jenis ancaman itu benar–benar
menimbulkan resiko yang sangat menakutkan. Tetapi kalau ancamannya tidak terlalu
berat, seperti hanya akan ditahan sekian tahun kalau tidak mau memakan atau
meminum yamg haram, itu berarti seseorang masih punya pilihan dan berarti ia
tidak dalam keadaan darurat.
Menurut
para ulama madzhab Maliki, darurat yang memperbolehkan mengkonsumsi sesuatu
yang diharamkan ialah rasa takut akan keselamatan nyawa baik berdasarkan
keyakinan atau hanya sekedar dugaan. Jadi disini rasa takut akan keselamatan
itu tidak perlu harus menunggu sampai benar–benar menjelang kematian, dengan
alasan karena makan pada waktu (kondisi) seperti itu sudah tidak ada
manfaatnya.
Menurut
para ulama madzhab Syafi’i, sesungguhnya rasa lapar yang teramat sangat itu
tidak cukup hanya diatasi dengan memakan sesuatu yang haram. Seseorang
diperbolehkan makan makanan yang haram kalau ia mengkhawatirkan dirinya bisa
kelaparan atau tidak kuat berjalan, mengendarai kendaraan atau takut tersesat dan
terpisah dari rombongannya. Disamping itu kekhawatiran seseorang terhadap
munculnya penyakit yang menakutkan adalah sama seperti kekhawatiran akan
datangnya kematian. Mereka juga sepakat bahwa tidak wajib harus menunggu sampai
kematian itu sebentar lagi datang. Berbeda dengan ulama madzhab Hanafi yang
mensyaratkan adanya keyakinan bahwa ancaman itu benar–benar menimbulkan resiko
yang sangat berat, Imam Haramain tidak mensyaratkan adanya keyakinan akan
terjadinya resiko tersebut, tetapi cukup dengan adanya dugaan saja.
Menurut para ulama
madzab Hambali, darurat yang memperbolehkan seseorang memakan sesuatu yang
diharamkan ialah yang membuatnya merasa khawatir akan mati kalau ia tidak
memakannya. Menurut imam Ahmad, apabila seseorang karena tidak mau makan
sesuatu yang haram merasa khawatir akan menimbulkan resiko bagi dirinya, maka
ia harus memakannya tanpa dibatasi oleh waktu tertentu.
Adapun batas ukuran
yang boleh dikonsumsi oleh seseorang yang sedang dalam keadaan darurat dibedakan
menjadi dua kondisi. Kalau keadaan darurat itu berlangsung terus menerus atau
dalam waktu lama maka ia diperbolehkan memakan makanan haram sampai kenyang.
Tetapi kalau keadaan darurat itu hanya bersifat sementara, artinya masih adanya
kemungkinan akan mendapatkan makanan lain yang halal dalam jangka waktu yang
tidak terlalu lama, maka hanya dibolehkan makan sekedar untuk mengatasi
sisa-sisa hidupnya, artinya tidak boleh makan makanan yang haram melebihi dari
kenyang. Sedang ukuran yang dapat mengatasi sisa hidup menurut ulama madzab
Hanafi adalah kondisi fisik yang memungkinkan seseorang mampu (kuat)
menjalankan shalat dan berpuasa. Sedang menurut ulama madzab Syafi’i ukuran
yang dapat mengatasi sisa-sisa hidup adalah sampai pada suatu keadaan normal
dimana seseorang tidak diperkenankan lagi memakan sesuatu yang haram.
Perbedaan pendapat
para ulama juga berkaitan dengan masalah hukum mengkonsumsi barang haram dalam
keadaan darurat, apakah hanya sekedar boleh atau harus (wajib). Sebagian ulama
menetapkan tidak wajib hukumnya memakan sesuatu yang haram dalam kleadaan
darurat, tetapi hanya sekedar boleh. Jadi apabila seseorang yang sedang dalam
keadaan darurat tidak mau memakan sesuatu yang haram kemudian meninggal dunia
maka ia tidak berdosa. Sebagian ulama yang lain berpendapat wajib hukumnya
mengkonsumsi sesuatu yang haram dalam keadaan darurat sehingga apabila
seseorang tidak mau mengkonsumsinya kemudian ia meninggal dunia maka ia
berdosa.
HUKUM VAKSIN MENINGITIS
Dari beberapa keterangan
dan pendapat para ulama hukum Islam di atas, meskipun hampir semuanya hanya
terfokus pada persoalan makanan haram, tetapi kiranya dapat diambil beberapa
prinsip yang dapat diterapkan terhadap persoalan vaksin meningitis di
Indonesia, khususnya dari sisi penetapan status darurat. Adapun dari jenis atau
obyeknya, persoalan vaksin meningitis ini dapat dimasukkan dalam persoalan
berobat dengan barang haram.
Beberapa prinsip
yang harus dipenuhi untuk menentukan suatu keadaan bisa disebut darurat paling
tidak ada empat :
- Posisi seseorang pada suatu batas dimana kalau tidak mau melanggar sesuatu yang dilarang maka berdasar keyakinan atau hanya sekedar dugaan ia akan terancam nyawa atau sebagian anggota badannya.
- Kondisi seseorang yang dihadapkan kepada dua pilihan madharat dan harus memilih satu diantaranya dengan pertimbangan paling ringan resikonya.
- Pelanggaran yang dilakukan semata-mata karena memang terpaksa, tidak ada pilihan lain selain serta dilakukan tanpa niat atau keinginan yang disengaja.
- Darurat bersifat sementara, ketika didapatkan sesuatu yang halal maka keadaan darurat sudah berubah menjadi normal (ikhtiar).
Atas dasar empat
prinsip di atas, penggunaan vaksin
meningitis oleh jamaah haji yang mengandung enzim babi sudah memenuhi prinsip
darurat. Keterpaksaan (kewajiban) penggunaan vaksin ini sangat jelas
sebagaimana tertuang dalam Nota Diplomatik Dubes Arabia di Jakarta No :
211/94/71/577 tanggal 1 Juni 2006 yang isinya mewajibkan seluruh calon jamaah
haji untuk divaksin agar tidak terserang meningitis. Radang selaput otak
(meningitis) adalah suatu ancaman dan kemadharatan yang dapat menimbukan resiko
bagi penderitanya. Oleh karena itu vaksin yang diberikan bertujuan untuk
pencegahan, meskipun nantinya terbukti mengandung enzim babi, apabila memang
tidak ditemukan vaksin lain yang halal maka penggunaan vaksin dari enzim babi
ini masih dibolehkan.
Dari sisi lain,
pemberian vaksin ini dapat pula dipandang sebagai bentuk pengobatan. Meskipun
pada dasarnya Islam hanya membolehkan berobat dengan yang halal dan melarang
berobat dengan yang haram, tetapi pada saat-saat tertentu Islam juga memberikan
keringanan (rukhshoh). Artinya,
apabila dalam keadaan darurat dan upaya mendapatkan jenis obat yang halal telah
gagal (unsur darurat terpenuhi) maka penggunaan obat-obatan yang terbuat dari
benda haram diperbolehkan. Sebagaimana kesimpuan Mahmud Syaltut, bahwa para
ulama sepakat membolehkan berobat dengan yang haram dengan beberapa syarat,
yaitu :
a.
Harus berdasarkan keterangan dari
dokter muslim yang dapat dipercaya bahwa benda yang haram itu benar-benar dapat
mencegah atau menyembuhkan suatu penyakit
b.
Hanya obat itu yang ada dan tidak
ditemukan yang lain.
c.
Cara memperolehnya tidak melanggar
aturan agama Islam dan tidak melebihi kebutuhan yang diperlukan.
Dari uraian di
atas, pemberian vaksin meningitis kepada jamaah haji yang diduga mengandung
enzim babi ini diperbolehkan, dengan alasan baik unsur darurat maupun tindakan
pengobatan semuanya sudah terpenuhi.
Ghufron Su’udi, S.Ag adalah Kepala KUA Kecamatan Pakualaman Kota Yogyakarta.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusmakasih
BalasHapus