Oleh
: Ghufron Su’udi
I.
LATAR BELAKANG
Dalam
istilah fikih, wali termasuk rukun (nikah), yakni salah satu unsur perbuatan
hukum yang apabila unsur tersebut tidak terpenuhi maka suatu pcrbuatan hukum
itu (nikah) berakibat tidak sah menurut syar'i. Dan ketentuan ini berlaku juga
dalam UU No. I Tahun 1974 tentang Hukunl perkawinan.yang berlaku di Indonesia.
Bahkan dalam salah satu Hadis nabi disebutkan bahwa siapapun
Kemudian
dalam ketentuan yang lainnya dinyatakaun bahwa bagi seorang perempuan yang
tidak mempunyai wali nasab, atau wanita berhalangan, tidak memenuhi syarat,
mafqud ( tidak di ketahui alamatnya), atau walinya adhal (menolak mcnjadi
wali), maka nikahnya dapat dilangsungkan dengan menggunakan wali hakim (Hadis Aisyah
/PMA No.2 Tahun 1987). Dalam hadis nabi wali hakim disebut dengan istilah sulthan (pemegang kekuasaan).
II. POKOK MASALAH
Ketentuan wali hakim ini sebenarnya
berasal dari hadis Aisyah yang Iengkapnya berbunyi: "Siapapun perempuan yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya
batal, dan sulthan itu sebagai wali bagi orang yang tidak mempunyai wali”.
Yang menjadi pertanyaan adalah, siapakah yang disebut dengan sulthan dalam
sebuah negara yang kepala negranya adalah presiden.
III.
PEMBAHASAN
Sebagai
agama yang sempurna Islam menjadi satu-satunya agama yang ajarannya meliputi
segala aspek kehidupan. Tidak saja mengatur tentang ubudiahhucliuh, tetapi juga menyentuh berbagai sistem kehidupan,
seperti sistem sosial, hukum, moral dan lain sebagainya. Salah satu diantarnya
yang paling menonjol dalam Islam adalah sistem hukum, baik yang menyangkut
bidang maupun pidana.
Dalam
bidang perdata, salah satu pembahasan yang paling erat kaitannva dengan
kehidupan sehari-hari adalah masalah pernikahan. Olch karena itu dalam hukum
pernikahan Islam diatur segalala yang berkaitan dengannya, mulai dari syarat
rukun hingga akibat hukum dari pernikahan. ltu scmua bcrtujuan agar, di samping
pernikahan itu termasuk satu aktifitas ibadah juga mcrupakan suatu Iembaga yang
setiap orang diharapkan memperoleh kepuasan perasaan dan seksual serta sebagai
perlindungan moral.
Oleh
karena itu untuk mewujudkan cita-cita ideal dan tercapaiya norma agama di atas,
sangat wajar jika aturan perkawinan Islam begitu rinci dan sempurna. Ini bisa dilihat
dalam berbagai kitab fikih maupun buku-buku perkawinan, pembahasan nikah selalu
dimulai dari definisi dan dasar hukumnya hingga persoalan hubungan suami-istri
dalam rumah tangga, bahkan sampai persoalan seandainya pernikahan itu putus, hukum
lslam masih memberikan ketentuan-ketentuan yang jelas.
Dalam
istilah fikih, wali termasuk rukun (nikah), yakni salah satu unsur perbuatan
hukum yang apabila unsur tersebut tidak terpenuhi maka suatu pcrbuatan hukum
itu(nikah) berakibat tidak sah menurut syar'i. Dan ketentuan ini berlaku juga
dalam UU No. I Tahun 1974 tentang Hukunl perkawinan.yang berlaku di Indonesia.
Bahkan dalam salah satu Hadis nabi disebutkan bahwa siapapun
Wanita yang
menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya batal.(Hadis riwayat Ahmad dari
Aisyah RA)
Kemudian
dalam ketentuan yang lainnya dinyatakaun bahwa bagi seorang perempuan yang
tidak mempunyai wali nasab, atau wanita berhalangan, tidak memenuhi syarat,
mafqud ( tidak di ketahui alamatnya), atau walinya adhal (menolak mcnjadi
wali), maka nikahnya dapat dilangsungkan dengan menggunakan wali hakim (Hadis Aisyah
/PMA No.2 Tahun 1987). Dalam hadis nabi wali hakim disebut dengan istilah sulthan (pemegang kekuasaan).
Salah
satu fungsi wali dalam perkawinan
adalah sebagai orang yang bcrtindak menikahkan calon mempelai wanita atau yang
memberi izin pernikahannya. Oleh
sebab itu untuk
menjadi wali diperlukan syarat-syarat tertentu, diantaranya harus beragama lslam, baligh, bcrakal, tidak dipaksa, jelas
lelakinya, adil (bukan fasik), tidak sedang ihrom haji atau umroh, tidak
dicabut haknya dalam menguasai harta bendanya oleh pemerintah (mahjur bissafah), tidak rusak pikirannya
karena tua atau sebagainya . Ketentuan ini berlaku baik untuk wali nasab
maupun wali hakim.
Kemudian,
karcna nikah itu termasuk perbuatan ibadah serta agar tujuan perkawinan itu
benar-benar tercapai dengan sempurna maka di samping adanya syarat wali di
atas, juga ditentukan urutan kedudukan kelompok wali yang didasarkan atas erat
tidaknya dengan calon mempelai wanita. Kclompok pertama adalah kerabat
laki-laki garis lurus ke atas, yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.
Kedua adalah kerabat saudara laki-laki kandung dan saudara taki-laki seayah dan
keturunan anak laki-laki mereka.
Ketiga
adalah kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara
laki-laki seayah dari keturunan anak laki-laki mereka. Keempat adalah saudara
laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek, keturunan anak
laki-laki mereka. Apabila yang paling berhak urutannya tidak memenuhi syarat
sebagai wali, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali yang lain menurut
urutan derajat berikutnya. Untuk selanjutnya, bilamana keseluruhan wali nasab
tidak ada atau berhalangan, tidak memenuhi syarat, mafqud atau adhal(menolak
) maka nikahnya dapat dilangsungkan dengan menggunakan wali hakim.
Ketentuan wali
hakim ini sebenarnya berasal dari hadis Aisyah yang Iengkapnya berbunyi:
"Siapapun perempuan yang menikah
tanpa seizin walinya, maka nikahnya batal, dan sulthan itu sebagai wali bagi
orang yang tidak mempunyai wali”. Yang menjadi pertanyaan adalah, siapakah
yang disebut dengan sulthan dalam sebuah negara yang kepala negranya adalah
presiden.
Hal
ini dikemukakan karena masalah tersebut mempunyai dampak ke berbagai hal. Pertama , kalau istilah sulthan di atas
diartikan kepala negara/presiden, maka yang berkewajiban menjadi wali hakim
presiden itu sendiri. Seandainya mewakilkan kepada orang lain, siapa pejabat
yang berhak ditunjuk menjadi wali hakim, apakah Menteri Agama, Kepala Kanwil,
Kepala Kandepag atau Kepala KUA Kecamatan.
Kedua, bagaimana kalau kepala negara tersebut seorang perempuan, atau tidak
memenuhi syarat-syarat perwalian lainnya, siapa yang akan bertindak sebagai
wali hakim?
Kalau
memperlihatkan bunyi hadis serta praktek di zaman Nabi, juga perkembangan
sistem politok dan birokasi saat ini, kata sulthan bisadiartikan dua-duanya.
Sulthan diartikan pemerintah jika kita kaitkan dengan sistem birokasi, sebab
dalam sistem birokasi kita mengenal istilah atau teori distribution of power, yaitu pembagian kekuasaan berdasarkan bidang-bidang
tertentu. Misalnya di Indonesia terdapat beberapa departemen yang menangani
urusannya masing-masing.
Disamping
sulthan juga dapat diartikan orang perorang, yakni kepala negara. Secara
historis, penunjukan kepala negara sebagai sulthan sebagaimana paktek di zaman
Nabi minimal memiliki dua alasan mengapa ia tidak memerlukan pembantu atau
wakil dalam menjalankan tugasnya, sehingga dalam urusan perwalianpun diserahkan
kepadanya. Pertama berkaitan dengan
faktor geografis, karena waktun itu wilayah suatu negara tidak begitu luas,
maka kepala negara mampu menjalankan tugasnya sendiri tanpa membutuhkan
pembantu atau wakil di daerah sebagaimana teori distribution of power tersebut. Tetapi untuk saat ini, dimana perkembangan
wilayah suatu negara sedemikian pesat dan luasnya, maka kondisi semacam itu
tidak mungkin dipraktekkan pada masa sejkarang ini.
Kedua, istilah sulthan di zaman Nabi tidak hanya bertugas mengatur dan
mengurusi kenegaraan saja, tetapi juga berfungsi sebagai mufti (pemberi fatwa) dan qaldi.
Maka wajar saja kalau urusan-urusan
hukum dan agama (termasuk menjadi wali hakim) diserahkan sepenuhnya kepada
kepala negara.
Dari
kedua arti sulthqan di atas, disimpulkan bahwa istilah sulthan pada saat itu
lebih cenderung berarti pemerintah. Hal ini sesuai pula dengan istilah yang
digunakan oleh istilah hukum perkawinan di indonesia, bahwa wali sulthan
semacam itu deisebut dengan istilah wali hakim, yakni wali yang kewenangan dan
penunjukan dilakukan oleh pemerintah, meskipun dalam hadis nabi menyebutkan
wali as sulthan. Sebab informasi tambahan bahwa dalam literatur Arab, kata
hakim hanya memiliki dua arti, yakni Allah dan pemerintah.
Sedang
arti sulthan sebagai seoprang individu
(kepala negara/presiden), hal itu hanya menunjuk pada praktek zaman Nabi. Jadi
istilah sulthan seperti ini tidak tepat dan sangat tidak mungkin digunakan
untuk menyebut seorang kepala negara atau presiden untuk saat ini, kecuali
kalau fungsi dan peran presiden sekarang sama dengan tugas Nabi.
Sedang
arti sulthan sebagai seorang individu (kepala negara/presiden), hal itu nhanya
menunjuk pada praktek zaman Nabi. Jadi istilah sulthan seperti ini tidak tepat
dan sangat tidak mungkin digunakan untuk menyebut seorang kepala negara atau
presiden untuk saat ini, kecuali kalau fungsi dan peran presiden sama dengan
tugas sulthan di zaman Nabi.
Disamping
itu juga para pejabat yang mempunyai tanggung jawab langsung terhadap bidang
perkawinan, seperti Kabid Urusan Agama Islam beserta kasinya ditingkat Kanwil,
Kasi Urusan Agama Islam dan Kasubsi kepenghuluan ditingkat Kandepag dan para
wakil PPN. Dengan satu syarat, sebelumnya ada penunjukan lebih dulu oleh kepala
KUA. Sebab berdasar pasal ayat (1) Peraturan
Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987, Kepala KUA adalah pihak pertama yang ditunjuk
oleh Menteri Agama sebagai Wali Hakim. Oleh karena itu apabila pihak-pihak lain
tersebut akan bertindak menjadi wali hakim, maka sebagaimana ketentuan pasal 1 poin b PMA tersebut, harus ada
penunjukan telebih dahulu oleh pejabat yang telah ditunjuk oleh Menteri Agama,
yakni Kepala KUA.
Di samping itu dengan
mengartikan sulthan sebagai pemerintah, persoalan seandainya kepala negara itu
seorang perempuan atau tidak memenuhi syarat-syarat perwalian lainnya, maka
dengan sendirinya sistem perwalian hakimnya tetap sah. Berbeda jika sulthan
berarti orang perorang, atau individu seorang kepala negara, maka jika kepala
negara tersebut tidak memenuhi syarat wali, sistem perwalian hakimnya menjadi
tidak sah.
Wallahu
a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar