Oleh
: Ghufron Su’udi
Zakat disyari'atkan karena mempunyai berbagai
hikmah dan keuntungan. Diantaranya adalah untuk menghindarkan para aghniya'
(orang kaya) dari sifat kikir dan dalam rangka membangun semangat
kesetiakawanan dan kepedulian sosial. Juga sebagai sarana untuk membersihkan
dan menumbuhkan
keberkahan pada harta yang dizakati. Dengan demikian secara garis besar syari'at zakat memiliki dimensi moral, sosial, dan ekonomi. Dari sisi moral, zakat dapat menghilangkan sifat tamak dan rakus, sedangkan
secara sosial zakat dapat dijadikan sarana untuk memberantas kemiskinan sekaligus sebagai alat untuk mengingatkan para orang kaya akan tanggung jawab sosialnya pada orang lain.
keberkahan pada harta yang dizakati. Dengan demikian secara garis besar syari'at zakat memiliki dimensi moral, sosial, dan ekonomi. Dari sisi moral, zakat dapat menghilangkan sifat tamak dan rakus, sedangkan
secara sosial zakat dapat dijadikan sarana untuk memberantas kemiskinan sekaligus sebagai alat untuk mengingatkan para orang kaya akan tanggung jawab sosialnya pada orang lain.
Bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya
beragama Islam, seharusnya mampu menjadikan zakat sebagai instrumen untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan. Tetapi
pada kenyataannya idealisme dan potensi zakat yang sangat luar biasa tersebut
masih jauh dari harapan. Hal ini disebabkan oleh beberapa kendala, diantaranya
masih rendahnya tingkat kesadaran masyarakat terhadap pelaksanaan zakat serta
faktor kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pengelola zakat.
Dari kedua faktor di atas, disinyalir faktor
kelembagaanlah yang paling menonjol. Sebagian pemerhati zakat di Indonesia
menyampaikan bahwa kemampuan lembaga atau organisasi pengelola zakat belum
mencapai tingkat kualitas pelayanan dan manajemen yang diharapkan. Maka untuk
merespon begitu besarnya harapan kaum muslimin akan adanya organisasi pengelola
zakat yang amanah, transparan dan professional maka pembenahan kelembagaan
organisasi pengelola zakat tersebut menjadi sebuah keharusan dan sangat
mendesak.
Oleh karena itu demi meningkatkan efektivitas
dan pelayanan dalam pengelolaan zakat serta meningkatkan manfaat zakat
sebagaimana yang dikehendaki muzakki, pemerintah perlu mengatur keberadaan
lembaga pengelola zakat. Maka setidaknya terbitlah beberapa aturan yang
berkaitan dengan pengelolaan zakat. Diantaranya pada tahun 1983 muncul UU No 7
Tahun 1983 tentang pajak penghasilan yang kemudian diubah menjadi UU No 17
Tahun 2000. Juga pada tahun 1999 terbit UU No 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Zakat yang kemudian diganti dengan UU No 23 Tahun 2011.23 Tahun 2011.23 Tahun
2011.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 inilah yang
oleh sebagian masyarakat dan beberapa pengelola Lembaga Amil Zakat (LAZ)
dianggap memberatkan, karena mengandung unsur diskriminasi pengelolaan zakat,
kriminalisasi, dan subordinasi LAZ. Sehingga atas dasar itulah kemudian
diajukan gugatan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi (MK), yang pada sidang
pembacaan putusan, Kamis (31/10), majelis hakim konstitusi memutuskan mengabulkan
sebagian gugatan dari para pemohon.
Kalau kita kembalikan kepada tujuan dibuatnya
berbagai aturan perundangan tentang pengelolaan zakat, sebenarnya untuk
melindungi masyarakat khususnya para muzakki agar dana zakat yang terkumpul
tidak berpotensi diselewengkan dalam pengelolaannya. Tetapi memang terasa
berlebihan kalau kemudian dalam UU No 23 Tahun 2011 ini terdapat unsur ancaman
kriminalisasi bagi para amil zakat. Sebab kekhawatiran akan penyelewengan dalam
pengelolan zakat, undang-undang ini sebenarnya sudah cukup dalam memberikan
perlindungan. Diantaranya dalam bentuk aturan tentang syarat dan kewajiban bagi
lembaga pengelola zakat maupun adanya aturan tentang peran serta masyarakat
dalam memberikan pengawasannya.
Khusus pasal 38 yang melarang setiap orang bertindak
selaku amil zakat, bagi umat Islam Indonesia hal ini nampaknya memang tidak
(belum) bisa diterapkan. Sebab dari sisi adat dan budaya, seseorang menjadi
amil zakat bukan merupakan sebuah keinginan pribadi, tetapi sebagai satu amanah
dari muzakki yang tidak kepada setiap orang kepercayaan itu diberikan.
Bagaimana dianggap sebagai suatu pelanggaran yang dapat dipidanakan kalau
kegiatan mengelola zakat itu bukan kehendak atau niat pribadi.
Akhirnya, revisi MK terhadap Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat jangan diniatkan sebagai upaya
melemahkan terhadap aturan zakat itu sendiri. Bukan pula dianggap sebagai
sebuah kemenangan satu pihak dan kekalahan bagi pihak lain, tetapi lebih
sebagai upaya bersama dalam usaha mengoptimalkan potensi zakat di Indonesia.
Juga sebagai sarana untuk lebih menjalin sinergitas antara pemerintah, lembaga
pengelola zakat, dan masyarakat.
___________________
* Ghufron Su’udi, S.Ag,
Kepala KUA Kec. Pakualaman Kota Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar